1.
HAKIKAT DAN PERANAN
BERBICARA
Berbicara
secara umum dapat diartikan suatu
penyampaian maksud (ide, pikiran, isi hati) seseorang kepada orang lain dengan
menggunakan bahasa lisan sehingga maksud tersebut dapat dipahami oleh orang
lain (Depdibud, 1984/1985:7). Menurut Tarigan (1983:15), berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi – bunyi
artikulasi atau kata – kata untuk mengekspresikan, menyatakan, serta
menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan.
Berbicara
pada hakikatnya adalah pemindahan pesan dari suatu sumber ke tempat lain.
Terjadi pemindahan pesan dari komunikator kepada komunikan. Pesan yang
disampaikan kepada komunikan lebih dahulu diubah ke dalam simbol yang dipahami
oleh kedua belah pihak. Bahasa lisan adalah alat komunikasi berupa simbol yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia. Selanjutnya simbol yang diterima komunikan
diubah menjadi umpan balik dimana komunikan memahami pesan yang disampaikan
komunikator.
Berbicara
dan menyimak merupakan dua kegiatan berbahasa yang saling berhubungan. Melalui berbicara , seseorang menyampaikan
informasi menggunakan bahasa lisan dan melalui menyimak seseorang menerima
informasi dari orang lain. Seseorang yang memiliki keterampilan berbicara yang
baik maka ia akan memiliki keterampilan menyimak yang baik pula begitu juga
sebaliknya.
Keterampilan
berbicara juga menunjang keterampilan menulis dan membaca apabila seseorang
memiliki keterampilan berbicara yang baik maka biasanaya ia juga memiliki
keterampilan menulis dan membaca yang baik juga dalam menyampaikan suatu
informasi.
2.
PERBEDAAN RAGAM LISAN
DAN RAGAM TULIS
Ada dua ragam
komunikasi yang digunakan manusia melalui bahasa, yaitu ragam bahasa lisan dan
ragam tulisan. Sebagaimana diungkapkan oleh Moeliono (Ed.), bahwa ragam bahasa
menurut sarananya lazim dibagi atas ragam lisan dan ragam tulisan (1988: 6).Dalam
penggunaannya, kedua ragam ini pada umumnya berbeda. Penggunaan ragam bahasa
lisan mempunyai keuntungan, yaitu karena bahasa ragam lisan digunakan dengan
hadirnya peserta bicara, maka apa yang mungkin tidak jelas dalam pembicaraan
dapat dibantu dengan keadaan atau dapat langsung ditanyakan kepada pembicara.
Hal ini menunjukan bahwa peranan penggunaan bahasa ragam lisan itu penting.
Berkaitan dengan ini, Pateda (1987: 63) menyebutkan bahwa ada empat alasan
mengapa bahasa lisan itu penting dalam komunikasi, yaitu (1) faktor kejelasan,
karena pembicara menambahkan unsur lain berupa tekan dan gerak anggota badan
agar pendengar mengerti apa yang dikatakannya, (2) faktor kecepatan, pembicara
segera melihat reaksi pendengar terhadap apa yang dibicarakan, (3) dapat
disesuaikan dengan situasi, artinya meskipun gelap orang masih bisa
berkomunikasi, dan (4) faktor efisiensi, karena dengan bahasa lisan banyak yang
dapat diungkapkan dalam waktu yang relatif singkat dan tenaga yang sedikit.
Sebaliknya, berbeda halnya dengan penggunaan ragam bahasa tulisan. Apa yang
tidak jelas dalam bahasa tulisan tidak dapat ditolong oleh situasi seperti
bahasa lisan.
Dalam bahasa lisan,
apabila terjadi kesalahan, pada saat itu pula dapat dikoreksi, sedangkan dalam
bahasa tulisan diperlukan keseksamaan yang lebih besar.
Badudu (1985: 6) menjelaskan pula perbedaan bahasa lisan dan tulisan. Menurutnya, bahasa lisan lebih bebas bentuknya daripada bahasa tulisan karena faktor situasi yang memperjelas pengertian bahasa yang dituturkan oleh penutur, sedangkan dalam bahasa tulisan, situasi harus dinyatakan dengan kalimat-kaliamt. Di samping itu, bahasa lisan yang digunakan dalam tuturan dibantu pengertiannya, jika bahasa tutur itu kurang jelas oleh situasi, oleh gerak-gerak pembicara, dan oleh mimiknya.
Badudu (1985: 6) menjelaskan pula perbedaan bahasa lisan dan tulisan. Menurutnya, bahasa lisan lebih bebas bentuknya daripada bahasa tulisan karena faktor situasi yang memperjelas pengertian bahasa yang dituturkan oleh penutur, sedangkan dalam bahasa tulisan, situasi harus dinyatakan dengan kalimat-kaliamt. Di samping itu, bahasa lisan yang digunakan dalam tuturan dibantu pengertiannya, jika bahasa tutur itu kurang jelas oleh situasi, oleh gerak-gerak pembicara, dan oleh mimiknya.
Dalam bahasa tulisan,
alat atau sarana yang memperjelas pengertian seperti bahasa lisan itu tidak
ada. Itulah sebabnya, bahasa tulis harus disusun lebih sempurna.Dalam
penggunaan bahasa lisan, saran-saran suprasegmental memberi sumbangan yang
berarti terhadap keberhasilan suatu komunikasi. Saran suprasegmental itu,
antara lain gejala intonasi yang berupa aksen, tekanan kata, tinggi rendahnya
nada, dan keras lembutnya suara. Penggunaan bahasa lisan, meskipun kalimat yang
diucapkan oleh seorang pembicara tidak lengkap, kita dapat menangkap maknanya
dengan melihat lagu kalimatnya serta gerak-gerik tangan, mata dan anggota badan
lainnya. Dalam hal ini Uhlenbeck dalam Teeuw (1984: 27) pun menjelaskan bahwa
keberhasilan komunikasi tidak tergantung pada epek sarana-sarana lingual saja,
pemahaman pemakaian bahasa lisan adalah hasil permainan bersama yang subtil
dari data pengetahuan lingual dan ekstra lingual, dari informasi auditif,
visual, dan kognitif (berdasarkan pengetahuan dan penapsiran).
3.
BENTUK – BENTUK
BERBICARA
Berbicara
dibagi menjadi dua bidang yaitu berbicara terapan atau fungsional dan
pengetahuan dasar berbicara. Dengan kata lain berbicara sebagai seni dan sebagai ilmu. Berbicara sebagai seni
menekankan penerapan sebagai alat
komunikasi dalam masyarakat seperti (1) berbicara di muka umum, (2) diskusi
kelompok, (3) debat, sedangkan berbicara sebagai ilmu menelaah (1) mekanisme
berbicara dan mendengar, (2) latihan dasar tentang ujaran dan suara, (3)bunyi –
bunyi bahasa, dan (4) patologi ujaran.
Berbicara
secara garis besar dapat dibagi atas (1) berbicara di depan umum atau public
speaking dan (2) berbicara pada
konferensi atau conference speaking. Berdasarkan aspek lain seperti arah
pembicaraan (berbicara satu arah seperti pidato dan ceramah dan multi arah
seperti diskusi dan konversasi). Berdasarkan aspek tujuan (persuasi,
argumentasi, agitasi, instruksional, rekreatif). Sedangkan dari aspek suasana
dapat dikelompokkan ke dalam berbicara formal dan non formal.
4.
ASPEK BERBICARA
DALAM PENGAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH DASAR
·
Faktor-faktor Penunjang Kegiatan
Berbicara
Berbicara
atau kegiatan komunikasi lisan merupakan kegiatan individu dalam usaha
menyampaikan pesan secara lisan kepada sekelompok orang, yang disebut juga
audience atau majelis. Supaya tujuan pembicaraan atau pesan dapat sampai
kepada audience dengan baik, perlu diperhatikan beberapa faktor yang
dapat menunjang keefektifan berbicara. Kegiatan berbicara juga memerlukan
hal-hal di luar kemampuan berbahasa dan ilmu pengetahuan. Pada saat berbicara
diperlukan a) penguasaan bahasa, b) bahasa, c) keberanian dan ketenangan, d)
kesanggupan menyampaikan ide dengan lancar dan teratur.
Faktor penunjang pada kegiatan berbicara sebagai berikut.
Faktor kebahasaan, meliputi :
a) ketepatan ucapan,
b) penempatan tekanan nada, sendi atau durasi yang
sesuai,
c) pilihan kata,
d) ketepatan penggunaan kalimat serta tata
bahasanya,
e) ketepatan sasaran pembicaraan. Sedangkan
faktor nonkebahasaan, meliputi
f) sikap yang wajar, tenang dan tidak kaku,
g) pendangan harus diarahkan ke lawan bicara,
h) kesediaan menghargai orang lain,
i) gerak-gerik dan mimik yang tepat,
j) kenyaringan suara,
k) kelancaran,
l) relevansi, penalaran,
m) penguasaan topik.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan berbicara adalah faktor urutan
kebahasaan (linguitik) dan non kebahasaan
(nonlinguistik).
·
Faktor
Penghambat Kegiatan Berbicara
Ada kalanya
proses komunikasi mengalami gangguan yang mengakibatkan pesan yang diterima
oleh pendengar tidak sama dengan apa yang dimaksudkan oleh pembicara. Tiga
faktor penyebab gangguan dalam kegiatan berbicara, yaitu:
1) Faktor fisik, yaitu faktor yang ada pada partisipan sendiri dan
faktor yang berasal dari luar partisipan.
2) Faktor media, yaitu faktor linguitisk dan faktor nonlinguistik,
misalnya lagu, irama, tekanan, ucapan, isyarat gerak bagian tubuh, dan
3) Faktor psikologis, kondisi kejiwaan partisipan komunikasi,
misalnya dalam keadaan marah, menangis, dan sakit.
5.
PENGAJARAN
BERBICARA
· Pendekatan
Pendekatan
dalam pembelajaran kemampuan berbahasa dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan
yang dihadapi guru dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yang lebih baik.
Menurut Muchlisoh (1996:15) mengemukakan bahwa pendekatan merupakan cara
yang dianggap terbaik untuk mencapai sesuatu. Pendekatan adalah
suatu metode atau cara yang digunakan untuk mengatasi
permasalahan dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Definisi ini sesuai
dengan harapan dalam proses belajar mengajar, yaitu siswa dapat memahami
suatu konsep pengetahuan dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, pendekatan
dalam proses belajar mengajar selalu mengalami perkembangan.
Oka
(Harjasujana, 1997:187) mengatakan bahwa pendekatan pengalaman berbahasa adalah
metode pengajaran penguasaan keterampilan berbahasa yang menggabungkan
pembelajaran berbicara dengan pengalaman bahasa anak yang meliputi menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis. Aspek yang harus diperhatikan dalam
pembelajaran itu meliputi kemampuan berpikir dan kemampuan mengungkapkan
bahasa.
Menurut
Harjasujana (1997:197), hal-hal yang harus diperhatikan dalam Pendekatan Pengalaman
Berbahasa (PPB) adalah :
1) PBB
merupakan suatu pendekatan pengajaran.
2) Materi
ajar digali dari pembelajar sendiri atau pengalaman berbahasa si pembelajar itu
sendiri.
3)
Pelaksanaan pembelajarannya melibatkan seluruh aspek keterampilan berbahasa
siswa secara integratif.
Keunggulan
dan Kelemahan Pendekatan Pengalaman Berbahasa
Keunggulan Pendekatan Pengalaman Berbahasa adalah sebagai berikut.
1. Sifat Pendekatan Pengalaman Berbahasa dimulai dengan soal
perkembangan bahasa anak. Maksudnya, materi bahan ajar yang digunakan untuk
pengajaran berbicara sesuai dengan tingkat penguasaan bahasa anak. Tugas untuk
memilih bahan yang cocok menjadi ringan karena wacana yang digunakan sudah
dengan sendirinya sesuai dengan tingkat penguasaan bahasa anak.
2. Sifat Pendekatan Pengalaman Berbahasa mengintegrasikan semua
kegiatan kebahasaan. Dalam pelaksanaan proses pembelajaran, anak-anak
mendengarkan, berbicara, membaca, dan terkadang menuliskan wacana yang tengah
dikembangkan.
3. Pendekatan Pengalaman
Berbahasa mempunyai sifat wajar.
4. Pendekatan Pengalaman Berbahasa tidak memerlukan banyak biaya.Suatu
pendekatan yang diterapkan pasti memiliki kelemahan di balik keunggulannya.
Kelemahan Pendekatan Pengalaman Berbahasa adalah sebagai berikut.
1. Sifat Pendekatan Pengalaman Berbahasa hanya digunakan pada
pengajaran penguasaan ketrampilan berbahasa tingkat awal. Selanjutnya,
Pendekatan Pengalaman Berbahasa dapat dikembangkan pada pengajaran penguasaan
keterampilan berbahasa yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis untuk
tingkat lanjut. Hal ini dapat dikembangkan karena ada anak-anak yang duduk di
kelas atas namun kemampuan penguasaan keterampilan berbahasanya masih berada
pada peringkat permulaan.
2. PBB menuntut waktu yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan
pendekatan yang lain.
3. PBB menuntut agar selalu menyadari adanya sejumlah
keterampilan dan sejumlah kosakata sehingga guru harus mengetahui apa yang akan
diajarkan dan kapan mengajarkannya.
Dari paparan
di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan pengajaran kemampuan
berbahasa dengan menggunakan pendekatan pengalaman berbahasa ada beberapa
keunggulan dan kelemahan di dalamnya. Oleh karena itu, alangkah baiknya
jika kelemahan-kelemahan tersebut diatasi terlebih dahulu.
Cara
mengatasi kelemahan tersebut diantaranya sebagai berikut:
a. Guru
terlebih dahulu harus mengetahui taraf keterampilan berbahasa siswa. Setelah
itu guru dapat menerapkan Pendekatan Pengalaman Berbahasa dalam pembelajaran
keterampilan berbicara.
b.
Karena Pendekatan Pengalaman Berbahasa menuntut waktu yang lebih banyak
dari metode yang lain, maka guru terlebh dahulu membuat metode yang tepat dalam
pembelajran berbicara denga Pendekatan Pengalaman Berbahasa, sehingga dalam
waktu yang relatif singkat tujuan pembelajaran dapat tercapai.c. Karena dalam
pembelajaran menggunakan Pendekatan Pengalaman Berbahasa melibatkan semua
keterampilan berbahasa seperti menyimak, membaca, dan menulis, serta sejumlah
kosakata, maka guru harus dapat memilih tema-temayang sesuai dengan kemampuan
berpikir anak, dan kapan harus mengajarkannya kepada siswa.
c. Tujuan dan Asumsi Pendekatan Pengalaman Berbahasa
Menurut
Space (Harjasujana, 1997:198) asumsi dasar penggunaan PBB ini adalah ekspresi
bahasa lisan siswa yang didasarkan pada pikiran, perasaan, dan pengalamannya
sendiri yang dapat ditulis dan dibca. Kegiatan ini dapat disamakan sebagaimana
halnya siswa membaca ide-ide orang lain yang telah dituangkan ke dalam wujud
tulisan. Menurut Huff (Harjasujana, 1997:198) Pendekatan Pengalaman
Berbahasa menganut pandangan bahwa anak-anak akan lebih mudah mengenali
tulisannya sendiri, karena kata-kata yang tertuang dalam tulisan tersebut
merupakan refleksi atau cerminan dari kehidupannya sehari-hari. Bahasa yang
digunakan merupakan bahasa yang akrab dengan kehidupannya yaitu bahasa yang menggambarkan
latar belakang pengalaman pribadinya.
Pendekatan
Pengalaman Berbahasa merupakan suatu pendekatan yang bisa digunakan untuk
pengajaran berbicara yang diikuti oleh keterampilan berbahasa yang lain
yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Bahasa lisan anak merupakan
landasan utama dalam pengelolaan pembelajaran berbicara. Pendekatan Pengalaman
berbahasa ini sangat menekankan arti pentingnya kondisi awal pembelajar dalam
hal kemampuan bahasa lisan. Dengan demikian, pelaksanaan pembelajaran berbicara
senantiasa diawali oleh penggalian pengalaman berbahasa anak yang diungkapkan
secara lisan, kemudian direkam ke dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk
kaset. Hasil rekaman inilah yang kemudian dijadikan alat untuk pembelajaran
berbicara. Dengan kata lain, pendekatan Pengalaman Berbahasa menganut pandangan
belajar dari anak, untk anak, dan oleh anak.
Harapan dari
pembelajaran dengan pendekatan seperti ini adalah pembelajar akan lebih
berhasil manakala sejak awal si pembelajar meyakini dirinya mampu dan bisa
melakukan sesuatu. Dengan bahan ajar yang digali dari siswa sendiri, siswa
diharapkan lebih mudah memahami dalam pembelajaran. Dengan cara seperti ini
siswa akan memiliki rasa percaya diri dan menganggap semua yang dipelajari
adalah sesuatu yang bermakna (memiliki nilai guna). Prosedur PBB dalam
Pembelajaran Berbicara
Prosedur
Pendekatan Pengalaman Berbahasa dalam pengajaran berbicara memiliki empat
langkah sebagai berikut.
1)
Mengidentifikasi minat, latar belakang pengalaman, dan fasilitas bahasa lisan
anak. Pada langkah ini, guru berdialog atau mengadakan percakapan
ringan dengan anak. Misalnya bertanya tentang nama, kesukaan, tentang
berita atau kejadian aktual di sekitar lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan sekolah. Langkah ini dimaksudkan untuk merancang dan membangkitkan
skemata anak, sehingga dia dapat mengeluarkan pikiran dan perasaannya pada saat
guru memintanya.
2)
Merencanakan dan mendiskusikan pengalaman anak atau topik tertentu yang dipilih
anak. Langkah ini dimaksudkan untuk menggali pengalaman bahasa anak.
Melalui rangsangan tertentu yang kemudian dijadikan topik diskusi, guru
membimbing anak untuk dapat mengekspresikan pengalamannya melalui bahasa lisan.
3) Mencatat dan merekam bahasa (cerita) anak.
Pembelajaran pada tahap ini, siswa menuliskan ataupun membacakan
hasil tulisannya di depan kelas. Hal ini dimaksudkan bahwa bacaan-bacaan lain
yang ditulis orang lain dihasilkan melalui proses yang sama seperti yang
dilihat dan dialaminya pada saat itu.
4) Mengembangkan keterampilan anak sesuai dengan kebutuhan
Pada langkah
ini, barulah pembelajaran yang sesungguhnya dimulai. Berdasarkan hasil rekaman pengalaman
berbahasa siswa, guru mengawali pembelajaran berbicara. Dengan cara membacakan
ataupun memperdengarkan hasil rekaman pada siswa, guru mengajarkan hal-hal yang
perlu diperhatikan dalam kegiatan berbicara serta melatih keterampilan
berbicara siswa sampai akhirnya siswa mempunyai keberanian dan
keterampilan dalam menyampaikan gagasan, pendapat, ide, dan menceritakan kembali
kepada orang lain baik secara lisan maupun secara tertulis.
6.
PENILAIAN
KETERAMPILAN BERBICARA
Setiap
kegiatan belajar perlu diadakan penilaian termasuk dalam pembelajaran kegiatan
berbicara. Cara yang digunakan untuk mengetahui sejauh mana siswa mampu berbicara
adalah tes kemampuan berbicara. Pada prinsipnya ujian keterampilan berbicara
memberikan kesempatan kepada siswa untuk berbicara, bukan menulis, maka
penilaian keterampilan berbicara lebih ditekankan pada praktik berbicara.Untuk
mengetahui keberhasilan suatu kegiatan tertentu perlu ada penilaian. Penilaian
yang dilakukan hendaknya ditujukan pada usaha perbaikan prestasi siswa sehingga
menumbuhkan motivasi pada pelajaran berikutnya. Penilaian kemampuan
berbicara dalam pengajaran berbahasa berdasarkan pada dua faktor, yaitu faktor
kebahasaan dan nonkebahasaan. Faktor kebahasaan meliputi lafal, kosakata, dan
struktur sedangkan faktor nonkebahasaan meliputi materi, kelancaran dan gaya
(Haryadi, 1997:95).
Dalam
mengevaluasi keterampilan berbicara seseorang pada prinsipnya harus
memperhatikan lima faktor, yaitu.
a) Apakah
bunyi-bunyi tersendiri (vokal, konsonan) diucapkan dengan tepat?
b) Apakah pola-pola intonasi, naik dan turunnya suara
serta rekaman suku kata memuaskan?
c) Apakah ketepatan ucapan mencerminkan bahwa sang pembicara
tanpa referensi internal memahami bahasa yang digunakan?
d) Apakah
kata-kata yang diucapkan itu dalam bentuk dan urutan yang tepat?
e) Sejauh manakah “kewajaran” dan
“kelancaran” ataupun “kenative-speaker-an” yang tecermin bila sesorang
berbicara?
Penilaian
yang digunakan untuk mengukur kemampuan berbicara siswa dilakukan melalui tugas
bercerita. Untuk mengevaluasi kemampuan berbicara siswa dibutuhkan format
penilaian berbicara. Berikut merupakan format penilaian berbicara/bercerita
yang dimodifikasi dari penilaian Jakovits dan Gordon (Nurgiyantoro, 2001:290).
Lembar Penilaian Berbicara
Nama : Pengamat :
Tanggal : Hasil :
Komponen yang Dinilai Skala Nilai Keterangan
Lafal 5
4 3 2 1
Kosakata 5
4 3 2 1
Struktur 5
4 3 2 1
Materi 5
4 3 2 1
Kelancaran 5
4 3 2 1
Gaya 5
4 3 2 1
Jumlah 5
4 3 2 1
Kriteria Penilaian:
A. Aspek Kebahasaan
a. Lafal
5 Pelafalan fonem jelas, standar, dan intonasi jelas.
4 Pelafalan fonem jelas, standar, dan intonasi kurang jelas.
3 Pelafalan fonem kurang jelas, terpengaruh dialek, dan intonasi
kurang tepat.
2 Pelafalan fonem kurang jelas terpengaruh dialek, dan intonasi
tidak tepat.
1 Pelafalan fonem tidak jelas, banyak dipengaruhi dialek, dan
intonasi tidak tepat.
b. Kosakata
5 Penguasaan kata-kata, istilah, dan ungkapan yang tepat, sesuai dan
variatif.
4 Penggunaan kata, istilah dann ungkapan kurang tepat, kurang sesuai
meskipun variatif.
3 Penggunaan kata, istilah dan ungkapan kurang dan kurang sesuai
serta kurang bervariatif.
2 Penggunaan kata, istilah dan ungkapan kurang tepat, kurang sesuai
dan sangat terbatas.
1 Penggunaan kata, istilah dan ungkapan tidak tepat, tidak sesuai,
dan sangat terbatas.
c. Struktur
1 Hampir tidak terjadi kesalahan struktur.
2 Sekali-kali terdapat kesalahan struktur.
3 Kesalahan struktur terjadi berulang-ulang dan tepat2 Kesalahan
struktur terjadi berulang-ulang dan banyak jenisnya.
4 Kesalahan struktur banyak, berulang-ulang sehingga mengganggu
pemahaman.
B. Aspek Nonkebahasaan
a. Materi
5 Topik dan uraian sesuai, mendalam, mudah dipahami dan unsur wacana
lengkap.
4 Topik dan uraian sesuai, kuarang mendalam, agak sulit dipahami,
unsur wacana tidak lengkap.
3 topik dan uraian sesuai, kurang mendalam, sulit dipahami, unsur
wacana tidak lengkap.
2 topik dan uraian kurang sesuai, kurang mendalam, sulit dipahami,
unsur wacana tidak lengkap.
1 topik dan uraian tidak sesuai, tidak mendalam, sulit dipahami,
unsur wacana tidak lengkap.
b. Kelancaran
5 pembicaraan lancar sejal awal sampai akhir, jeda tepat.
4 Pembicaraan lancar, jeda kurang tepat.
3 Pembicaraan agak tersendat, jeda kurang tepat.
2 Pembicaraan sering tersendat, jeda tidak tepat.
1 Pembicaraan tersendat-sendat, dan jeda tidak tepat.
c. Gaya
5 Gerakan, busana santun, wajar, tepat, luwes.
4 Gerakan, busana santun, wajar, tepat, kurang luwes.
3 Gerakan, buasana santun, wajar, kurang tepat, kurang luwes.
2 Gerakan, busana kurang santun, kurang wajar, kurang tepat, kurang
luwes.
1 Gerakan dan busana tidak santun, tidak wajar, tidak tepat, dan
tidak luwes.
0 komentar:
Posting Komentar