Orang tua seringkali memberikan
petuah kepada anak muda bahwa dalam menjalani hidup harus dibekali dengan rasa
sabar. Namun di zaman sekarang yang segala sesuatu serba cepat berubah ada
saatnya sabar itu tenggelam oleh segala sesuatu yang instan untuk mencapai
sesuatu. Inginnya segalanya mudah didapat, padahal untuk memeroleh sesuatu akan
ada hambatan yang menyertai.
Dalam
bahasa Jawa ada istilah watak dan watuk. Dua kata beda satu huruf yang
memiliki arti beda. Watak itu tabiat atau karakter yang tidak dapat diubah dan harus
diterima apa adanya (taken for granted). Kalau watuk itu adalah sakit batuk. Sakit batuk
itu bisa diobati.
Nah
lalu hubungannya watak dan watuk dengan kesabaran adalah begini ;
Jika kita mengambil sudut pandang sabar sebagai watak maka kita tidak
bisa merubah apa yang ada dalam diri sendiri atau seseorang. Hal itu merupakan
sifat dasar yang telah melekat dalam diri. Orang yang tidak sabar tidak bisa
dirubah menjadi sabar atau lebih sabar kalau itu sudah menjadi tabiat. Konon menurut
istilah orang Jawa watak konon tidak bisa disembuhkan/diubah. Sebaliknya kalau sabar sebagai watuk maka sikap orang
tidak sabar layaknya sebuah penyakit yang ada obatnya, masih bisa disembuhkan
dan diobati. Sikap orang tidak sabar ini masih bisa diubah menjadi lebih baik,
lebih sabar atau bahkan sangat sabar.
Anggapan
bahwa sabar dan tidak sabar itu bawaan sejak lahir dari sononya sebenarnya
salah juga. Kita berarti mengingkari segala kedinamisan di kehidupan ini bahwa
segala sesuatu terus berubah termasuk kepribadian manusia (Transfiguration of man). Kesabaran itu juga ilmu yang bisa
dipelajari oleh semua orang. Tinggal bagaimana niat dan tindakan yang mengiringi
dan menjalaninya. Sabar bisa dilatih dengan kesungguhan hati. Agar kesungguhan
itu selalu menaungi berikut faktor-faktor pendorong kesabaran :
a.
Keyakinan mendalam bahwa dunia dan
isinya adalah milik Alloh SWT
Dunia dan alam semesta ini milik
Alloh. Inilah yang kita yakini dalam ajaran Islam. Kita akan terbebas atau
minimal tidak terlalu merasa sedih, galau, gelisah atau gundah manakala
kehilangan sesuatu. Hal itu karena kita ingat bahwa semua itu hanya titipan-Nya
saja sehingga rasa sabar itu menjadikan ringan suatu cobaan. Ingat semua itu
milik Alloh SWT.
b.
Memahami hakikat kehidupan
Hidup di
dunia adalah kehidupan yang fana, tidak kekal dan abadi. Tak selalu indah pasti
adakalanya terjadi hal yang tak diinginkan. Nikmatnya dunia memang merupakan
surga dunia yang tak abadi. Urip mung mampir ngombe. Kehidupan dunia itu
seperti jembatan penyeberangan menuju akhirat yang kelak menjadi tempat tujuan
terakhir. Dalam mengarunginya tentu ada banyak rintangan dan cobaan. Akan ada
banyak ujian yang mesti ditempuh untuk menempatkan seseorang layak mengisi
kuota surga abadi yang dielu-elukan insan manusia. Dari sini Alloh melalui
kehidupan di dunia menyeleksi makhluknya mana yang memiliki akhlak baik dan
mana yang buruk. Manusia yang memahami hakikat hidup akan lebih sabar dalam
menjalaninya, beda dengan mereka yang menganggap bahwa dunia adalah nikmat yang
mesti digunakan selagi masih hidup dengan hura-hura semata tanpa berpikir
kehidupan setelah kematian yang merupakan masa pertangunggjawaban hidupnya di
dunia. Hakikat kehidupan ini sebenarnya adalah ujian. Manusia yang paham akan
memiliki mental dan persiapan diri. Dengan demikian perubahan apapun yang
terjadi akan tetap membuat nyaman dengan kesabaran yang dimiliki.
c.
Meyakini ada kemudahan dibalik
kesulitan
Orang-orang
beriman akan tetap optimis dalam menghadapi kesulitan. Letupan optimisme akan
terjaga meski dalam kondisi tersulit sekalipun. Janji Alloh SWT akan adanya
kemudahan bersama dalam kesulitan. Alloh berfirman , “Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya beserta
kesulitan itu ada kemudahan.”(Q.S. Alam Nasyrah[94]: 5-6)
Menurut M.
Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, komposisi antara kemudahan dan kesulitan
adalah dua berbanding satu. Satu untuk kesulitan dan dua untuk kemudahan. Kenapa
bisa begitu ? dijelaskan bahwa kesulitan tertulis Al-‘Usri, menggunakan Al yang
secara bahasa diartikan bahwa eksistensi Al-‘Usri yang pertama sama dengan
eksistensi Al-‘Usri yang kedua. Jadi hanya ada satu kesulitan. Adapun kata
kemudahan Yusra tanpa al, artinya Yusra yang pertama beda dengan Yusra yang
kedua. Jadi ada dua kemudahan dalam ayat itu.
Dalam kehidupan
ini sudah banyak bukti bahwa kesabaran dalam kesulitan membawa kesuksesan dalam
dirinya. Jalan lebar kesuksesan terbentang luas setelah melewati lorong
kesulitan yang sempit. Bukti nyata bisa dilihat dari kisah Nabi Muhammad SAW
melalui kesabaran dalam melalui kesulitan. Yakin saja ada banyak kemudahan
dibalik kesulitan.
d.
Merasa yakin bahwa pertolongan Alloh
itu dekat
Orang beriman
tempat bergantungnya pasti kepada Alloh. Sesulit apapun keadaanya mereka pasti
tetap memiliki tempat mengadu. Realita ini adalah bentuk kesabaran dari orang
beriman, walau dalam keadaan sulitpun mereka masih mengingat Alloh. Keyakinan bahwa
pertolongan Alloh itu dekat menjadikan kita selalu berprasangka baik atas segala
ketetapan-Nya. Sikap mental yang demikian membawa kebaikan dalam hidup
orang-orang beriman. Rasululloh SAW bersabda “Alloh berfirman, ‘Saya bergantung
pada prasangka hamba-Ku, sekiranya ia berprasangka baik, akan berdampak baik
dan sekiranya ia berprasangka buruk, maka akan berdampak buruk.’” (H.R. Muslim, Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu
Hibban)
Jika kita
beriman maka singkirkan perasaan khawatir akan masa depan, merisaukan nasib dan
gelisah dalam menghadapi problematika hidup. Cukup Alloh yang memberikan
petunjuk dan pertolongan.
e.
Percaya akan ketentuan Alloh SWT
Kita harus
sadar kehidupan ini ada yang mengatur. Segala sesuatu telah ditetapkan sang
Illahi. Manusia diberi akal budi dan kebebasan mengelola alam dan dirinya. Tetapi
sebaik pemberi keputusan adalah Ketetapan Alloh mana yang baik bagi hamba-Nya. Sang
Khalik telah mengukur dan memerkirakan segala ketetapan sesuai kadarnya. Ada Qadha’
dan Qadhar sebagai ketentuan Alloh. Semua telah tertuliskan rapi.
Dalam sebuah
hadis Rasululloh bersabda “Sesungguhnya seseorang itu diciptakan dalam perut
ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah, 40 hari menjadi segumpal darah, 40
hari menjadi segumpal daging, kemudian Alloh mengutus malaikat untuk meniupkan
ruh ke dalamnya dan menuliskan empat ketentuan, yaitu tentang rezekinya,
ajalnya, amal perbuatannya, dan jalan hidupnya sengsara atau bahagia. ” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin
Mas’ud)
Menurut hadis
tersebut segala sesuatu memang telah ditetapkan, tapi ada takdir yang masih
bisa diubah, yakni rezeki dan nasib manusia. Asalkan manusia itu mau berusaha
dengan sungguh-sungguh dalam mengubah nasibnya.
Dari sini bisa kita pahami yang terpenting dalam
hidup bagaimana kita memandang kehidupan ini sebagai jalan meraih ridho-Nya. Setiap
apa yang kita lakukan niatkan sebagai amalan semata-mata untuk beribadah
kepada-Nya. Mari jaga Sholat, ibadah, dan hidup kita hanya untuk Alloh SWT. Terus
menjadi insan yang selalu memerbaiki diri.
Sumber :
Buku Quantum Sabar & Syukur penulis Abdullah Al-Fathany